IEDUL FITRI PERKUAT KARAKTER BANGSA

IEDUL FITRI PERKUAT KARAKTER BANGSA 


     Salah satu hari besar Islam yang paling fenomenal dan monumental adalah Idul Fitri. Secara batiniah, Lebaran ini sering disebut sebagai momen pembersihan diri alias kembali pada fitrah (suci).
Tak hanya bermakna sebagai perayaan kemenangan dari ritus olah fisik dan batin, sebagai laku rohaniah selama sebulan penuh menjalankan ibadah puasa, Idul Fitri juga sarat makna sosial dan humanisme universal.
Pendek kata, hari raya ini bukan saja sarat makna asketistis-spiritual yang bersifat transenden, melainkan juga benar-benar merupakan bentangan luas fenomena kesalehan sosial. Betapa tidak, Idul Fitri mampu menggerakkan arus besar migrasi masyarakat urban, bahkan perputaran finansial, saat arus mudik yang berlangsung masif sebagai suatu ritus sosial.

     Untuk mendalami lebih jauh upaya memaknai tempaan Ramadhan dan hikmah Idul Fitri, 1 Syawal 1433 H, wartawan yang juga redaktur Harian Umum Suara Karya Yudhiarma MK mewawancarai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama Bahrul Hayat PhD, di ruang kerjanya, di Kantor Kemenag, Jakarta, Jumat (17/8).

     Apabila tak ada aral melintang, pemerintah dan ormas-ormas Islam, akan menggelar sidang isbat (penetapan) tanggal 1 Syawal 1433 H untuk menentukan Hari Raya Idul Fitri pada Sabtu, 18 Agustus 2012. Kemungkinan besar perayaan hari besar Islam itu akan berlangsung sama, baik NU dan ormas-ormas lain maupun Muhammadiyah. Tanggapan Anda?
Ya, kita tunggu sidang itsbat saja, karena itu ditetapkan dalam mekanisme religius yang sangat demokratis dan damai. Tapi, kalau melihat perkembangan mutakhir, memang kemungkinan sama, yaitu Idul Fitri diperkirakan jatuh pada Minggu, 19 Agustus 2012.

     Apa hikmah Ramadhan yang hampir berlalu, dan umat Islam dengan penuh haru menyongsong Idul Fitri?
Ada tiga hal. Pertama, sebagai enlightmen atau pencerahan batin. Kedua, untuk membentuk self-regulated person atau pribadi yang mampu mengatur atau mengendalikan diri. Dan, ketiga, the power of thanks giving alias zakat, infak dan sedekah (ZIS), sebagai kekuatan spiritual dan kesalehan sosial.

     Sebulan berpuasa di bulan penuh hikmah mesti dijadikan ajang menempa diri, memantapkan keimanan dan ketakwaan dalam menyukseskan jalan spiritual guna menghadapi ujian dan cobaan pada 11 bulan berikutnya. Inilah kawah 'candradimuka' untuk menempa anak-anak bangsa yang religius untuk semakin memperkuat jati diri dan karakter sebagai bangsa yang beradab, toleran, berjiwa sosial, dan agamis.
Apakah yang Anda maksud penguatan karakter adalah mengoptimalkan partisipasi dalam memberdayakan masyarakat, bergotong-royong dan meningkatkan kepekaan untuk membantu sesama?
Betul, Ramadhan harus dipergunakan sebaik-baiknya untuk mengasah sense of crisis, sifat dermawan, jiwa yang penyantun, instrospeksi dan muhasabah (mawas diri). Memang kita lihat dari konteks Ramadhan, kemiskinan yang merajalela menunjukkan bahwa masih ada kontras atau disparitas antara tujuan atau hikmah puasa dengan realitas kehidupan sehari-hari.

     Padahal, tujuan atau hikmah puasa itu antara lain, bukan hanya menahan hawa nafsu seperti makan, minum, dan sebagainya. Tapi, juga untuk menunjukkan solidaritas kita terhadap orang-orang yang kurang beruntung atau mereka yang lapar. Yakni, mereka yang tidak punya apa-apa, jangankan rumah atau kendaraan, buat makan sehari-hari saja susah. Ini sangat kontras dengan hikmah puasa terutama tentang solidaritas dan sikap santun kepada orang miskin.
Maksud Anda?
Umat Islam dari dulu sudah berpuasa, sehingga solidaritasnya mesti betul-betul membebaskan. Maka, mengangkat harkat dan kehidupan orang-orang miskin menjadi lebih layak, harus terwujud. Di bulan puasa biasanya solidaritas meningkat dalam bentuk empati dengan cara sama-sama merasakan lapar. Orang-orang yang berkecukupan pun harus merasakan lapar sebagai lapar yang kerap dirasakan mereka yang tidak memiliki makanan.

     Untuk itu, di bulan puasa kita harus banyak mengeluarkan zakat, infak, sedekah (ZIS) dan usai Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, kita juga mengeluarkan zakat fitrah. Tetapi, pemaknaan puasa jangan berhenti sampai di situ. Harus ada upaya-upaya yang lebih konkret untuk mengatasi kemiskinan.
Menurut Anda, sejauh mana agama bisa berperan mengatasi masalah sosial seperti problem kemiskinan?
Memang perlu dicatat, persoalan kemiskinan sangat kompleks. Kita tidak bisa mengandalkan semangat keagamaan saja. Kita tidak bisa mengharapkan hanya dari peningkatan solidaritas terhadap orang miskin pada bulan puasa. Karena, persoalan kemiskinan juga terkait dengan banyak faktor. Seperti faktor struktural, baik di bidang politik, ekonomi, termasuk sosial, pendidikan dan budaya.
Sehingga, untuk menuntaskan masalah kemiskinan perlu pendekatan komprehensif. Selain penyelesaian dengan pendekatan keagamaan juga diperlukan. Artinya, solidaritas orang muslim, mukmin dan muttaqin harus ditingkatkan dengan memperbesar ZIS dan kontribusinya bagi umat yang miskin.
Tapi, itu hanya bersifat karitatif saja, selama persoalan struktural belum diatasi. Jadi, kalau yang bersifat struktural seperti kepincangan-kepincangan dalam kehidupan ekonomi tidak diatasi, tetap saja kemiskinan itu merajalela.
Lalu, apakah fungsi sosial-ekonomi tersebut hanya berlaku selama Ramadhan?
Tentu tidak. Sebab, Ramadhan bukan tradisi pemutihan spiritual atau bulan penebusan dosa. Saya kira tidak sesederhana itu. Karena, banyak muslim beribadah sepanjang hari, bulan dan tahun, meski intensitasnya meningkat pada bulan puasa. Jadi, puasa bukan fenomena sektoral dan sesaat, setiap muslim juga melakukan ibadah rutin setelah ditempa selama bulan puasa.

     Ramadhan merupakan bulan yang produktif. Semua peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Islam terjadi di bulan ini. Simak saja, Nuzul al-Quran, perang Badar. Fathu Makkah, dan kemenangan Umar bin Khattab di Palestina. Peristiwa ini mencerminkan bahwa Ramadhan adalah bulan produktif yang monumental untuk melakukan berbagai aktivitas.

     Para sahabat memanfaatkan Ramadhan sebagai bulan infak, bulan peningkatan kegiatan dakwah, komunikasi dan membangun keluarga sakinah. Ramadhan memuat makna-makna iman pada jiwa manusia, mengilhami mereka arti agama yang hanif, dan memantapkan kepribadian muslim yang hakiki. Ramadhan merupakan sarana efektif menghadirkan internalisasi nilai kebajikan guna menghadapi berbagai tantangan yang muncul di tengah masyarakat.

     Adakah relevansi agama, Ramadhan dan Idul Fitri, dengan upaya menggairahkan kehidupan ekonomi?
Tentu sangat relevan, karena selain menuntut peningkatan solidaritas terhadap sesama, etos sosial, etos kerja dan etos ekonomi kaum muslim juga harus ditingkatkan. Selama ini ada kajian-kajian yang menyebutkan bahwa etos kerja kaum muslim di Nusantara relatif lemah. Etos ekonomi dan sosial juga masih rendah. Kita melihat banyak yang lebih senang santai, mungkin karena lingkungan alam di negeri ini terlalu ramah.
Sehingga banyak yang merasa tidak perlu kerja keras karena apa saja bisa tumbuh. Kata orang, 'tongkat kayu dan batu pun bisa jadi tanaman'.

Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

By : Pircoco

Ditulis Oleh : Unknown // 11:53
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment

Tinggalkan komentar anda disini ..... !