PERKEMBANGAN NASIONALISME DI INDONESIA


TIAP kali kita memperingati HUT kemerdekaan, kita teringat akan semangat pengorbanan bangsa kita pada waktu berperang melawan penjajah Belanda. Waktu itu seluruh komponen bangsa bersatu padu untuk mencapai kemerdekaan, tanpa memandang perbedaan suku, agama, golongan, aliran politik, adat istiadat dan budaya.

Timbulnya semangat perjuangan membela bangsa dan Tanah Air untuk memiliki negara sendiri yang merdeka, katakanlah semangat nasionalisme, karena berbagai faktor. Pertama; kondisi riil yang dialami oleh bangsa kita sebagai bangsa jajahan yang mengalami penindasan dari bangsa asing kurang lebih 3,5 abad. Bung Karno, sang Proklamator, sering menyebutnya dengan exploitation de l’homme par l’homme.


Kedua; memperhatikan pengalaman bangsa lain yang berhasil mengusir penjajah dan mendirikan negara merdeka. Ketiga; mencermati pandangan dari para pemimpin dunia tentang keharusan tiap bangsa untuk merdeka, terbebas dari penindasan bangsa lain. Umat Islam Indonesia bersama umat beragama lain telah mempunyai andil dalam perjuangan mengusir penjajah dan terbentuknya NKRI yang merdeka dan berdaulat.

Umat Islam Indonesia pada masa itu juga mendapat inspirasi dari umat Islam di luar negeri yang sebagian sedang berjuang mengusir penjajah dan sebagian yang lain sudah berhasil mendirikan negara merdeka. Di antaranya pandangan para pemimpin modernis dan nasionalis dari Timur Tengah memberikan inspirasi perjuangan kemerdekaan kepada para pemuka Islam di Indonesia.

Akar Nasionalisme

Mencermati dalil-dalil dari Alquran dan Hadis dapat kita simpulkan bahwa Islam mengakui keberadaan suku-suku dan bangsa-bangsa. Hal ini dapat kita ketahui dari kandungan Alquran Surah Alhujurat Ayat 13 yang artinya,’’ Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di hadapan Allah adalah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal’’.
Ayat ini menyatakan adanya bangsa-bangsa dan suku-suku yang tersebar di seluruh pelosok dunia adalah untuk saling mengenal. Implikasi dari ayat ini tentunya agar mereka saling bekerja sama dan bantu-membantu, bukan saling bermusuhan atau berperang.

Mereka menempati daerah-daerah tertentu di bumi ciptaan Allah dengan tugas untuk memelihara dan memakmurkannya, sebagai khalifah Allah. Kawasan tanah sebagai milik kelompok dan sebidang tanah milik perorangan hendaknya didayagunakan dan dipertahankan. Dalam kaitan ini Nabi Muhammad bersabda, ’’Siapa pun orang muslim yang mati karena mempertahankan tanah miliknya maka dia terhitung mati syahid’’. Dari kandungan Hadis ini dapat disimpulkan, umat Islam yang mati karena mempertahankan Tanah Airnya maka mereka terhitung mati syahid. Inilah akar nasionalisme dalam Islam.

Pada masa kehidupan Rasulullah saw, Beliau berhasil mendirikan sebuah negara yang penduduknya terdiri atas beberapa suku dan berbagai pemeluk agama. Beliau tidak mengajarkan suatu bentuk negara tertentu, kecuali menggariskan beberapa asas kehidupan bernegara, yaitu hukum Allah sebagai hukum tertinggi, keadilan, musyawarah, dan jaminan sosial.
Karena itu di kemudian hari negara-negara  yang dibentuk oleh umat Islam ada yang berbentuk negara khilafah, kerajaan, dan republik. 

Sepeninggal Rasulullah saw, berdirilah negara-negara yang berbentuk khilafah yang dikepalai oleh khalifah, mulai dari Khalifah Abubakar Ash-Shiddiq, Khalifah Umar ibn Khathab, Khalifah Usman ibn ’Affan, dan Khalifah Ali ibn Abi Thalib, dan keempatnya disebut Al-Khulafaur Rasyidin.

Sesudah mereka muncul khalifah-khalifah yang kekuasaannya meliputi wilayah-wilayah di luar jazirah Arab. Sebagai contoh, Khalifah Harun Ar Rasyid menguasai wilayah-wilayah yang dihuni oleh berbagai bangsa, mulai dari wilayah India, Parsi, Turki, Arab, Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, dan Maroko. Pada masa itu bangsa-bangsa muslim belum memi-kirkan suatu bentuk negara  yang pada zaman modern disebut nation state.

Dalam satu segi pemerintahan kekhilafahan pada masa yang lalu menunjukkan sebuah ne-gara besar  yang sangat luas wilayahnya dan menyatukan beberapa bangsa. Tetapi dalam segi lain terdapat kelemahannya, yaitu kontrol pemerintah pusat ke daerah kurang efektif.
Hal ini sering mendorong gubernur-gubernur ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat.
 Juga jika terjadi serangan musuh ke salah satu daerah, pemerintah pusat tidak mampu segera memberikan bantuan ke daerah tersebut, baik berupa tentara maupun logistik.
Akhirnya, karena serangan dari luar dan perpecahan dari dalam maka pemerintahan kekhilafahan di berbagai wilayah berakhir.

Era baru yang suram bagi dunia Islam datang ketika Napoleon dari Prancis menduduki Mesir pada 1798. Inilah bentuk penjajahan dari bangsa Barat terhadap umat Islam. Akhirnya bangsa-bangsa Barat seperti Prancis, Inggris, Portugis, Belanda menjajah bangsa-bangsa muslim termasuk di kepulauan Nusantara.
Mengalami beratnya penderitaan di bawah bangsa penjajah, muncullah pejuang-pejuang kemerdekaan dari bangsa-bang-sa muslim.

Di Mesir muncul pejuang kemerdekaan, Jama-luddin Al-Afghani, yang meng-gelorakan perjuangan umat Islam mela-wan imperialisme. Kemudian muncul pula Rifaah Ath-Thahthawi dari Universitas Al-Azhar Mesir menggelorakan semangat perjuangan kemer-dekaan dengan semboyan hubbul wathan minal iman (cinta Tanah Air sebagian dari iman ) dan tahrirul mar’ah (pembebasan kaum perempuan). Gaung nasionalisme dari Mesir itu meningkatkan semangat  perjuangan umat Islam Indonesia melawan penjajah Belanda. (10)

–  H Ibnu Djarir, Ketua MUI Provinsi Jawa Tengah

Ditulis Oleh : Unknown // 12:17
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment

Tinggalkan komentar anda disini ..... !